Laman

Rabu, 20 Juli 2011

Prangko,Tak Lekang Dimakan Zaman

Wednesday, 03 November 2010 

Bagi sebagian orang, prangko hanyalah pengganti biaya saat mengirim surat melalui PT Pos Indonesia. Namun bagi pencinta prangko atau biasa disebut filatelis,benda tersebut sangatlah bernilai seni tinggi.

DILIHAT sepintas, prangko hanyalah sebuah kertas yang ukurannya tidak lebih besar dari dua jempol orang dewasa. Dengan ukuran sekecil itu, tentu gambar prangko lebih kecil dibanding kartu pos yang biasa terpanjang di pusatpusat perjalanan wisata atau travel.

Namun bagi maniak filatelis, gambar tersebut punya nilai atau kekhasan tersendiri. Ternyata bukan hanya gambar sebagai satu-satunya nilai sebuah prangko. Masih banyak nilai estetika lain yang di antaranya, jika prangko dicetak tidak sempurna atau cacat.

“Prangko cacat atau salah cetak, banyak diburu para filatelis. Nilainya ada pada cacatnya tersebut,” kata Post Manager Kantor Pos Makassar Basuki Artono. Bentuk prangko yang juga banyak diburu para maniak filatelis adalah jenis prematur. Jenis prangko ini beredar sebelum waktu resmi dijual ke pasaran. “Contohnya begini, seharusnya prangko di keluarkan resmi pada Oktober, tapi karena human error, prangko tersebut tiba-tiba beredar pada September,” ujarnya. Prangko itu akan diburu para filatelis. Basuki menjelaskan, gambar prangko dibuat dalam berbagai versi. Tokoh, momen, kepala negara, flora dan fauna, atau tematik.

“Tematik seperti momen hari buruh dunia. Tokoh, seperti pahlawan atau orang-orang yang punya prestasi dan diakui dunia,” paparnya. Saat ini di Sulsel ada Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI). Kelompok inilah yang rutin menggelar kegiatan dan pertemuan antara sesama pencinta prangko. “PT Pos hanya mendukung mereka dalam menggelar berbagai kegiatan. Soal bagaimana mereka memperoleh prangko, sesama filatelislah yang saling berbagi informasi,” katanya. 

Ketua Perkumpulan Filatelis Indonesia Cabang Makassar Darmawan Denassa mengisahkan, pertama kali mengenal prangko pada 1990-an. Saat itu, kata Wawan, sapaan akrabnya, suka berkorespondensi dan tertarik pada gambar prangko. “Awalnya,saya suka gambarnya. Lama-kelamaan mulai mengumpulkan semua jenis prangko,” ujarnya.  
Dari sejumlah koleksi prangko yang dia punya, ada satu yang amat berkesan. Prangko tersebut adalah momen setengah abad Universitas Hasanuddin (Unhas). “Prangko ini diterbitkan 11.000 keping dalam rangka perayaan 50 tahun Universitas Hasanuddin 2006 lalu,” tuturnya. Dia menceritakan, nilai prangko tersebut ada pada sisi perjuangannya. Wawanlah salah seorang filatelis Makassar yang memperjuangkan agar hari jadi Unhas diterbitkan dalam bentuk prangko ke Menteri Informasi dan Komunikasi (Kemeninfokom). “Prangko ini saya koleksi dan sangat berarti,” ucapnya.

Prangko pertama kali diperkenalkan pada 1 Mei 1840 di Britania Raya sebagai reformasi pos oleh Rowland Hill. Karena itu sampai sekarang,Britania Raya mendapat perlakuan khusus. Negara ini adalah satu-satunya negara yang tidak perlu mencantumkan nama negara di atas prangko. (Umran La Umbu)


Sumber:
Koran Sindo (Seputar Indonesia)
3 Nopember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar